Mimpi tentang Rumah
By : Leli Amalia Herianto
KAMI punya rumah
di kampung. Tidak besar, tapi cukup menyenangkan. Rumah itu semi permanen. Ayah
membangun rumah itu ketika aku kecil. Ibuku yang menimbun bagian dalam rumah
itu, dengan tanah merah, sebelum diberi lantai dari semen campur pasir. Tanah
itu diambil dari kebun kosong persis di depan bakal rumah kami, yang juga milik
salah seorang famili ibu.
Waktu itu ibu
tengah hamil adikku. Tetapi ibu tidak peduli. Ia memaksa diri mengangkut tanah
untuk menimbun, karena bersemangat untuk punya rumah. Itu dilakukan ibu setiap
pagi sampai matahari berada di atas kepala. Aku, yang waktu itu masih kecil,
sepulang sekolah ikut membantu ibu. Biasanya aku mengangkut tanah dengan
gerobak dan membawa tertatih-tatih. Kalau sudah siang, ibu berhenti dan pulang
untuk memasak. Aku juga ikut pulang karena lepas siang aku bersiap- siap untuk
mengaji di masjid.
AYAH dan ibu
membangun rumah itu boleh dikata dengan semangat. Ayah seorang pegawai kecil di
sebuah sekolah dan ibu membantu menambah pendapatan keluarga dengan menanam
sayur-sayuran di halaman rumah tempat kami tinggal yang memang cukup luas.
Kalau musim
tanam kacang tanah atau semangka, ibu juga ikut serta bertani dengan menyewa
sawah orang lain dengan sistem bagi hasil.
Jadi praktis
tidak banyak uang yang ditabung ayah dan ibu, kecuali beberapa puluh gram emas
yang dikumpulkan bertahun-tahun, ditambah dengan meminjam kiri-kanan, termasuk
dari atasan ayah di kantor. Tak ada bantuan dari siapa pun kecuali sebuah
dorongan agar kami punya rumah.
Sebelumnya kami
memang punya rumah, tapi sebuah gubuk di tanah pemberian orang tua ibuku. Itu
sungguh kurang menyenangkan bagi ayah. Sebab tanah itu kerap dipersoalkan oleh
saudara ibu yang lain, terutama adiknya, meskipun sebetulnya mereka sudah
mendapat bagian masing-masing. Tetapi begitulah orang tak puas: selalu saja
lebih indah hal-hal yang belum mereka miliki. Ayah tidak mau repot-repot dengan
itu.
Maka ketika ada
orang menjual tanah, ayah lalu membeli tanah itu. Ibu pun gembira sekali ketika
itu. Apalagi tanah untuk rumah itu letaknya di pinggir jalan kabupaten yang
berdebu dan tak beraspal. Jalan selebar tiga meteran itu menghubungkan Kecamatan
Pitumpanua dan Luwu, yang berjarak sekitar tujuh atau delapan kilometer itu.
Aku suka menempuhnya dengan bersepeda bersama kawan-kawan sebaya.
AKU pernah
bertanya: mengapa ibu begitu kuat mengangkat tanah untuk menimbun rumah?
Jawaban ibu membikinku haru. "Kita memang harus kuat agar bisa punya
rumah. Bagaimanapun kita lebih tenang tinggal di rumah sendiri, rumah yang kita
bangun dengan keringat sendiri," kata ibu.
Ibu juga tidak
mengajak ayah untuk membantu menimbun bagian dalam rumah. Menurut ibu, ayah
juga sama seperti ibu. Hanya beda tempat saja. "Ibu justru membantu
ayahmu. Kalau ayah turut mengangkat tanah, kasihan ayahmu terlalu lelah. Ayahmu
sudah bekerja pagi sampai lepas siang," ujarnya. "Mengapa tidak
diupahin saja sama orang untuk menimbun?"
Pertanyaanku
dijawab dengan senyum oleh ibu. "Kalau kita upahin sama orang, kita tidak
pernah bisa merasakan bagaimana sulitnya membangun rumah. Padahal itu penting
supaya kita tahu benar arti sebuah jerih payah sehingga bisa merawatnya dengan
baik. Lagi pula, kita tidak punya uang untuk itu."
Ah ibu, sungguh
aku tidak terlalu mengerti kata-kata ibu. Aku pun tidak hendak bertanya lebih
lanjut. Aku cuma bisa memahami kata-kata ibu bahwa mereka -ayah dan ibu-
bercita-cita punya rumah. Rumah lebih baik. Di tanah sendiri. Lalu aku pun ikut
membantu ibu. "Ayo, jangan bicara saja. Bantu ibu," katanya kemudian.
Aku mencangkul bongkahan-bongkahan tanah dan memasukkan ke kain tua ibu yang
digelar di tanah. Selanjutnya, ibu berjalan tertatih-tatih dengan perutnya
makin buncit membawa beban tanah untuk menimbun rumah. Sebetulnya aku ingin
libur sekolah beberapa hari agar bisa menemani sekaligus membantu ibu. Tetapi
ibu melarangku. Katanya: kamu harus sekolah, biar bisa seperti ayah.
Lalu rumah itu
berdiri. Setengah permanen. Rumah kami pertama-tama sangat jelek. Serupa
onggokan. Memang, sudah beratap, berlantai, berdinding, dan berpintu. Tapi
atapnya belum dicat merah saga, sebagaimana rumah-rumah lain yang beratap seng.
Lantainya bukan tegel atau keramik, tetapi cuma beton yang dipernis dengan air
semen.
Terus dindingnya
masih menyembulkan batu-bata merah, belum diplester sama sekali. Loteng alias
plafonnya belum ada. Kalau siang, panas matahari langsung menusuk ubun-ubun.
Kalau musim hujan, dinginnya tak ketulungan. Hanya pintunya yang bagus.
"Mengapa rumah kita tidak sebagus rumah-rumah di dekat pasar?"
"Rumah kita
terbuat dari keringat. Tidak sama dengan rumah-rumah dekat pasar, milik
toke-toke dan pejabat kecamatan, yang dibuat dengan uang. Sabar saja, kalau
waktu milik kita, Insya Allah, rumah kita lama-lama akan menjadi seperti
rumah-rumah dekat pasar itu." Ayah benar. Pelan-pelan rumah kami menjadi
bagus. Satu per satu didandani. Atapnya dicat merah saga.
Diplester. Mula-mula bagian depan
yang diplester, kali lain kamar tamu, terus merembet sampai kamar ayah, ruang
makan, dapur, sampai ke kamarku. Itu dilakukan masing-masing dalam interval
waktu berbulan-bulan. Setelah itu diberi loteng atau plafon. Mula-mula loteng
bagian kamar tamu, lalu kamar makan, terus kamar ayah, terus loteng dapur,
terakhir loteng kamarku. Tidurku pun menjadi tidak panas lagi. Lalu dicat.
Semua itu dilakukan satu per satu dengan jeda cukup lama, sampai ayah berhasil
mengumpulkan butiran-butiran waktu secukupnya.
RUMAH kami dekat
pantai. Kalau malam aku suka duduk di luar, menikmati suara debur ombak.
Kadang- kadang bersama ibu sambil menunggu ayah pulang dari pasar. Kadang
bersama kakek, ayah ibu. Kakek suka bercerita tentang dongeng-dongeng. Aku
mendengarnya sampai larut malam. Aku memang biasa tidur malam.
Kata kakek,
rumah kami dekat Palopo. Dari pantai di belakang rumahku, ada sebuah jembatan
menghubungkan kampung kami dengan Palopo. Jembatan itu terbuat dari bambu.
Karena itu, banyak orang kampung pergi ke Palopo, tinggal dan beranak-pinak di
sana. "Mengapa jembatan itu sudah tidak ada? Aku ingin sekali main
sore-sore Polopo," tanyaku suatu kali. Kakek segera menyela.
"Jembatan itu masih ada. Tetapi tidak bisa dilihat oleh anak kecil.
Makanya kamu cepat- cepat besar kalau ingin main soresore ke Polopo. Kamu bisa
bersepeda ke sana," ujarnya. "Mengapa jembatan bambu bisa untuk bersepeda?"
"Itulah
hebatnya," tanggap kakek. Meski bambu, tetapi kalau kita berjalan di
atasnya, serasa berjalan di jalan licin beraspal. Bahkan, ada beberapa mobil
yang lewat sana." "Mengapa bisa?" Aku makin tidak mengerti.
Kakek tersenyum
sebentar, lalu berujar. "Bisa saja. Sebab, jembatan itu dibuat oleh indatu
kita. Orang-orang kita yang hidup beratus-ratus tahun lalu. Mereka membuatnya
perlahan-lahan. Dengan semangat berkobar. Mereka menumpahkan seluruh cinta
untuknya.
Mereka tidak
dibayar. Tetapi mereka senang melakukannya. Mereka makan dari harta Tuhan.
Kalau siang, mereka membangun jembatan Kalau malam, mereka memancing atau
menjala ikan. Setiap pagi, banyak orang datang ke sana untuk membeli ikan-ikan
hasil tangkapan mereka." "Termasuk kakek?" "Ya, termasuk
kakek."
Kakek memang
seorang pedagang ikan. Kakek bukan cuma menjual ikan di pasar. Juga berjualan
sampai ke kecamatan lain dengan mengayuh sepeda kumbang. Sering sekali kakek
pulang larut malam. Tertatih-tatih mengayuh sepeda yang tak ada lampunya itu.
Kalau bulan tidak terang, kakek memakai lampu senter untuk penerang jalan.
Kadang kakek membawa banyak ikan yang tersisa. Lalu misyik -panggilanku untuk
nenek- mencuci ikan-ikan itu dan membelahnya, memberi garam dan dijemur untuk
dijadikan ikan asin. Itu dilakukan malam itu juga, supaya ikanikan itu tidak
keburu busuk. Sering mendapatkan kakek pulang malam, aku kerap bertanya:
"Apakah kakek tidak takut hantu? Sebab, kata orang kalau malam banyak
hantu."
Kakek tertawa
terbahak-bahak mendengar mendengar pertanyaanku. Aku menjadi tak mengerti. Lalu
ia menukas: "Hantu itu tak pernah ada. Jalanan aman-aman saja."
"Benarkah?" Kakek mengangguk.
Sejak situasi di
Bulete makin tidak menyenangkan, ayah dan ibu memutuskan tinggal di Kampung
Baru. Kebetulan aku sudah beberapa tahun tinggal dan bekerja di kota ini. Bukan
hanya ayah dan ibu, sebagian warga lain, yang punya sanakfamili di luar Bulete,
juga ikut mengungsi.
Ingin
menentramkan diri, katanya. Pemuda juga begitu, mereka banyak yang pergi
merantau. Tetapi, sejak tinggal di kota ini, ayah kerap termenung. Pikirannya
selalu tertuju pada rumah. Tak jarang ia marahmarah sendiri dan mengatakan
ingin pulang saja ke kampung. Sering pula ayah menyalahkan ibu yang dulu terus
mendorong agar mereka segera meninggalkan kampung karena tidak sanggup lagi
menghadapi berbagai kejadian yang malang-melintang di depan mata.
Kalau sedang
berdebat dengan ibu -sebab ibu lebih berprinsip lebih baik hidup tenang jauh
dari kampung daripada hidup was-was dan ketakutan di kampung sendiri- ayah
selalu mengatakan: "Kalau Tuhan mau mencabut nyawa kita, di mana saja
bisa. Mengapa kita harus takut pada mati." Kalau sudah begitu, ibu tidak
akan melayani, dan pergi ke belakang dan menangis, karena merasa terus
dipersalahkan oleh ayah. Waktu-waktu yang paling sering terjadi keributan
antara ayah dan ibu adalah menjelang habis masa kontrak rumah. Karena pada masa
itu ayah harus mengeluarkan uang dalam jumlah banyak untuk membayar biaya
kontrak selanjutnya. Meski punya uang pensiun -ayah pensiunan pegawai negeri
golongan IIID- sekitar Rp 1 juta rupiah sebulan, ayah selalu kepayahan setiap
akan membayar biaya kontrakan.
Bisa dipahami
memang, agak berat hidup di kota ini dengan gaji satu juta rupiah sebulan.
Tetapi kalau dipikirpikir, masih beruntung ayah mempunyai pendapatan. Itu
ditambah lagi dengan usaha ibu sehari-hari membuat kue untuk ditaruh di warung
dekat tempat tinggal. Tidak banyak pemasukan memang, tetapi untuk belanja ikan
dan sayur setiap hari tercukupi. Tetapi bagi ayah, ibu selalu dianggap telah
mengambil keputusan yang keliru: hijrah dari kampung. Karena itu, ayah merasa
selalu harus mengeluarkan uang banyak untuk tempat tinggal dan biaya hidup.
"Rumah orang kita perbaiki, rumah sendiri kita biarkan terlantar,"
kata ayah selalu. Maksud ayah, membayar sekian juta rupiah untuk biaya
kontrakan dianggap memperbaiki rumah orang. Kalau itu digunakan untuk merawat
rumah sendiri, betapa sudah bagusnya rumah itu. Bukan hanya ibu, aku sendiri
kadang juga kena semprot dari ayah. Aku dianggap yang memprovokasi ibu agar
hijrah dari kampung dulu. Aku memang beberapa kali mengirim surat kepada ibu
agar mempertimbangkan -aku tidak menyuruh- untuk tinggal di Bulete saja.
Mulanya ibu agak ragu. Tetapi setelah mengetahui sebagian orang Kampung Baru,
yang punya sanak-famili di luar daerah, meninggalkan kampung, ibu jadi
terpengaruh juga.
Jadilah ibu
kemudian mendesak ayah agar segera berkemas. Ayah menjual sepeda motor
kesayangannya, menurut ayah, dengan harga murah. Juga menjual televisi, kulkas,
dan perangkat elektronik lain. Semua dengan harga "butuh uang".
Kecuali rumah, ayah bersikeras tidak mau menjualnya. "Kalau kita jual,
nanti saat Bulete aman dan kita pulang kampung, kita akan tinggal di
mana?" tanya ayah. Ibu memang tidak menyuruh agar ayah menjual rumah,
karena ibu juga berharap suatu saat bisa kembali pulang kampung dan
menghabiskan masa tuanya di sana. Akulah yang menyurati agar ayah dan ibu
menjual rumah, setelah mengetahui keputusan mereka untuk hijrah. Aku berpikir
praktis saja, daripada rusak, mendingan diuangkan saja. Lagi pula, buat apa
lagi ayah dan ibu pulang ke kampung, semua anakanaknya -aku dan seorang adikku-
sudah tinggal dan bekerja di Bulete. Mendingan mereka tinggal di Kampung Baru,
bisa dekat dengan kami, juga cucu-cucunya, yakni anak-anakku. Tetapi aku tidak
memaksa juga. Biarlah ayah dan ibu mengambil keputusannya sendiri.
"Apakah
kamu pernah berpikir tentang rumah? Rumah kita di kampung," tanya ayah
suatu sore, ketika aku baru saja tiba dari tempat kerja. Aku melihat mata ayah
basah dan beberapa tetes air matanya meluncur ke pipinya yang mulai keriput.
Baru sekali ini aku melihat ayah menangis. Biasanya kalau teringat rumah, ayah
hanya marah-marah dan wajahnya menjadi bersemu merah.
Aku duduk di
samping ayah, memandang butiran-butiran hujan yang mulai turun, di tempat
tinggal ayah dan ibu, sebuah rumah sederhana yang dikontrak seharga lima juta
rupiah setahun itu. Aku betul-betul tersentak dengan cara ayah bertanya, juga
suasana hatinya yang terasa begitu galau dan sedih. Ada apa yang terjadi
sebenarnya.
Tetapi aku hanya
menarik napas dalam- dalam dan menghembuskannya perlahan. Aku tidak tahu
bagaimana harus menjawab pertanyaan ayah. Aku hanya bisa membayangkan dari
jauh: sebuah rumah semi permanen, berkamar dua, dan beratap merah saga. Sepi
dan sendiri. "Apakah ada kabar dari kampung?" tanyaku kemudian
setelah lama terdiam. "Tidak," katanya sambil terisak, lalu mengusap
air mata dengan ujung jarinya.
"Itulah
masalahnya. Ayah khawatir terjadi apa-apa dengan rumah kita. Tadi malam ayah bermimpi
rumah kita sudah roboh. Dan orang-orang satu per satu datang untuk mengambil
papan dan kayu untuk dijadikan kayu bakar," kata ayah sangat pelan dengan
isak yang tidak bisa ditahan. "Itu kan mimpi. Pada kenyataannya kan
tidak."
"Mimpi itu
ayah yakin sekali benar. Dan arti mimpi itu bisa banyak. Bisa saja rumah itu
digunakan oleh orang lain untuk hal-hal yang tidak kita inginkan. Atau paling
tidak rumah itu sudah bocor, kotor, dan mungkin kayu- kayunya mulai lapuk dan
catnya sudah terkelupas. Padahal kamu tahu, betapa susahnya kita untuk punya
rumah dulu. Kita dulu harus tahan lapar untuk membangunnya."
Sekali lagi aku
menarik napas. Betul juga kata ayah. "Bagaimana kalau kita kirim surat
kepada paman di kampung menanyakan kondisi rumah?" "Tidak. Ayah
terpikir mau pulang sendiri ke Aceh ingin melihat rumah. Kasihan kalau rumah
itu jadi rusak," suara ayah.
"Tetapi di
kampung belum aman. Kita tunggu saja sampai kondisi benar-benar tenteram,"
aku memberi pengertian. "Sampai kapan?" Ayah bertanya dengan suara
serak. Beberapa tetes air mata kembali meluncur ke pipinya. Aku menggigit
bibir, tidak tahu harus berkata apa. "Seharusnya, masa-masa pensiun begini
ayah jalani bersama ibumu di kampung sambil merawat rumah," tutur ayah
dengan wajah yang makin basah.
0 komentar:
Posting Komentar