Sabtu, 26 November 2011

DIAMBANG BATAS BY Vega Vatimaf Mamora


DIAMBANG BATAS
BY Vega Vatimaf Mamora


          “kita mau kemana lagi? Kita pasti tertangkap kak!”  kata Ve sambil menggenggam tangannya sendiri.
          “kita harus lari, ini adalah warisan terakhir dari ayah! Kita tidak bisa memberikannya begitu saja!” kata Dominic untuk meyakinkan Ve.
          KRAAAAAK!! Lantai yang mereka pijaki retak. Ve tersentak kaget dan Dominic segera membungkam mulut Ve yang akan mengeluarkan suara nyaringnya itu.
          “Ve, kumohon. Ini adalah harta terakhir sebelum ayah kita meninggal, bantu kakak untuk menjaganya. Kita tidak boleh menyerah!” Dominic menatap Ve dengan mata yang berbinar. Memancarkan keteguhan hati yang tak tergoyahkan.
          “bbbaa baaaik kak” jawab Ve gugup.
          “apapun yang terjadi percaya sama kakak, kita pasti bisa selamat dari tempat ini”
          Ve pun hanya bisa mengangguk. Kemudian mereka berjalan menyusuri lantai kayu yang sudah rapuh digigit rayap. Mereka sangat berhati hati, berusaha meminimalkan suara yang mungkin bisa terdengar oleh para mafia yang mencari mereka. Langit langit rumah kayu tersebut terlihat kusam. Hanya ada cahaya matahari yang menembus celah atap rumah yang menjadi penerang mereka. Debu debu yang beterbangan bertebaran diseluruh ruangan.
          “kami tau kalian ada disini!” suara salah satu mafia menggelegar diseluruh ruangan.
          Ve dan Dominic menghentikan langkahnya. Mereka tidak bergerak, hanya deru nafas mereka yang memburu terdengar. Mata mereka memutar mengitari ruangan. Waspada dengan semua hal yang mungkin terjadi.
          “berikan kami kalung itu!” kata mafia yang lain mengikuti. Suaranya terdengar nyaring, berbeda dari mafia yang pertama tadi.
          Dominic menyimpan jari telunjuk di depan bibirnya, menunjukkan kepada Ve untuk tidak menjawab sahutan para mafia. Tubuh Ve gemetaran dan mengangguk perlahan. Ve hanya pasrah mengikuti semua perintah kakaknya dan terdiam seribu bahasa.
          Hening. Tidak ada suara yang terdengar. Ve dan Dominic mulai melangkahkan kakinya lagi menuju ke pintu keluar yang sudah tak jauh dari tempat mereka berada sekarang. Debu yang beterbangan tidak mengganggu keinginan mereka untuk mengeluarkan diri dari tempat neraka tersebut. Akhirnya mereka pun sampai di ruang tamu. Hanya perlu beberapa langkah laki hingga mereka akan mencapai pintu keluar. Ruang tamu tersebut masih tertata dengan rapih. Dengan 2 sofa yang berwarna merah, dan 1 meja kayu yang sudah terlihat sangat usang. Diatas meja itu pun masih terdapat Vas dengan bunga mawar layu didalamnya. Hanya saja jaring laba laba menghiasi seluruh ruangan.
          “Kalian mau kemana anak anak manis?” terdengar suara laki-laki dewasa yang mengangetkan Ve dan Dominic.
Mereka tidak pernah menyangka dibalik sofa itu telah ada seseorang yang menunggu kedatangan mereka. Kemudian Mafia yang lain pun datang. Mereka semua berjumlah 3 orang. 2 diantara mereka menyergap Ve dan Dominic. Memegang kedua pergelangan mereka dengan erat. Dominic mencoba untuk membuka genggaman mafia tersebut tapi tidak bisa. Disisi lain Ve hanya memperhatikan kakaknya dengan pasrah. Keringat semakin bercucuran, panas matahari semakin menambah ketegangan diantara mereka.
          “akhirnya permainan kejar kejaran ini pun berakhir, bukan begitu Dominic?”
          “lepaskan aku! Siapa kamu? Apa maumu hah?!” teriak Dominic dengan tatapan bengis terhadap mafia tersebut.
          “baiklah anak manis, namaku Alvin. Aku adalah rekan kerja ayahmu selama ia masih hidup. Tapi kami pernah mengalami selisih paham ketika mengekplorasi makam Tutankhamen yang berada di Mesir. Makam Tutankhamen adalah sebuah makam yang sangat misterius, karena tidak pernah ada arkeolog yang kembali dari eksplorasinya di makan Tutankhamen. Selain itu makam Tutankhamen juga dipercaya menyimpan ribuan harta terpendam. Singkatnya, saat aku dan ayahmu menemukan makam Tutankhamen, kami memiliki perbedaan pendapat. Ayahmu ingin menyerahkannya terhadap Negara, sedangkan aku ingin mengeruknya untuk kepentingan sendiri.”
          “bangsat!” kata Dominic menyela cerita Alvin.
          “hahaha tunggu dulu nak, biarkan aku menyelesaikan cerita ini. Setelah itu ayahmu membawa lari kunci makam Tutankhamen tersebut. Dan dengan terpaksa aku harus membunuh ayahmu saat itu juga” lanjut Alvin tanpa merasa berdosa sedikit pun.
          “jjaaa jjaadiii kamu yang telah membunuh ayah?” seru Ve dengan suara yang parau.

          Mata Ve menyergap-nyergap tidak percaya. Mencoba menelan ludah dan mempercayai apa yang telah dia dengar.
          BUUUUKKKK!! Alvin terhempas jatuh ke lantai. Saat mendengarkan cerita tersebut Dominic  dapat melepaskan diri dan segera menghantam Alvin dengan seluruh kekuatannya.
          “jangan lepaskan dia!” seru Alvin sambil mengusap bibirnya yang berdarah.
          “bajingan, dasar laki laki bajingan! Kamu telah membunuhku hanya demi harta!” teriak Dominic sambil menahan air matanya yang akan segera jatuh.
          “ayaaaah, hiks” tangis Ve mengingat kembali tentang ayahnya.
          “serahkan kalung itu!” Alvin sudah mulai kehilangan kesabarannya.
          “tidak akan aku berikan ke laki laki keparat sepertimu!” jawab Dominic.
          “BERIKAN KALUNG ITU”
          “TIDAK! Sampai mati pun aku tidak akan pernah memberikan kalung ini padamu!
          “baiklah kalau memang itu maumu. Bagaimana kalau adikmu yang tercinta ini harus menjadi korban pertama hari ini?”
          Alvin mendekati Ve perlahan. Kemudian Ve memalingkan wajahnya, dan mengigit bibir bagian bawahnya.
          “jangan sentuh dia dasar bajingan!” teriak Dominic sambil meronta untuk melepaskan diri.
          Alvin menengadahkan dagu Ve dengan paksa. Ve berusaha untuk memalingkan wajahnya tapi tidak sanggup.
          “adikmu memang cantik, persis seperti ibumu” kata Alvin.
          “lepaskan dia!”
          Alvin mengeluarkan pistol dari balik jas hitam yang ia kenakan. Dominic hanya mampu menelan ludah, dan melihat adiknya yang gemetaran. Ve tak sanggup lagi berkata-kata. Detak jantungnya semakin kencang dan ia pun hanya bisa mematung menunggu kejadian selanjutnya terjadi. Dominic pun menghela nafas panjang.
          “jangan sentuh dia, aku akan memberikan kalung ini. Asalkan kamu lepaskan adikku dan biarkan kami hidup tenang” kata Dominic dengan berat hati.
          “nah anak yang pintar, sekarang berikan aku kalung tersebut” jawab Alvin dengan senyum kemenangan.
          “lepaskan aku” kata Dominic kepada mafia yang memegang tangannya sejak tadi.
          Mafia itu pun mengarahkan kepalanya kepada Alvin untuk meminta persetujuan, Alvin pun mengangguk mengiyakan. Setelah dilepaskan Dominic merogoh kantong celana yang ia kenakan. Kemudian dengan sigap dia berlari menuju Alvin dan mengambil pistol yang sedang ia pegang.
          Mafia yang lain tak tinggal diam dan mulai bergerak menuju Dominic. Tapi saat Dominic akan menodongkan pistolnya kepada para mafia, Alvin mondorongnya dari belakang sehingga terjadi perkelahian yang sangat sengit.
          Ve hanya bisa berdiri kaku dan menggenggam kedua tangannya sendiri. Semua perasaan telah berkecamuk didalam hatinya. Ia bingung dan bimbang dengan apa yang akan dia lakukan. Sementara Alvin dan Dominic bergelut memperebutkan pistol tersebut. Kedua mafia yang lain hanya bisa berdiri menyaksikannya. Sampai kemudian..
          DOOOORRRRR!!
          Hening, semuanya terdiam. Terbujur kaku dengan semua yang berlalu dalam waktu hitungan detik. Darah mulai bercucuran membanjiri lantai kayu. Tidak ada yang mengucapkan sepatah kata apapun. Semua suara menghilang seiring suara tembakan tersebut. Dan seketika sebuah teriakan panjang memecahkan keheningan.
          “TIDAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAKKKKKK”

Dan yang tersisa di ambang batas ketakutan hanyalah ..
KETIADAAN ..

0 komentar:

Posting Komentar

 
;