MELATI
By Darmaji
Asrun
Pagi dingin. Kabut menebal dalam
aroma sepi yang menyekat. Pohon-pohon menggigil. Bunga kemboja merah itu mulai
ngilu dan terpaku pada buaian angin yang menganak-sungai menjadi salju. Apa
ini? Wangi. Ada aroma bunga yang buai aku di antara kebekuan pagi. Ada aroma
yang begitu kukenal. Ada aroma yang begitu kucintai. Shinta, jangan menangis,
Ayah hanya pergi sebentar, kata Ibu pagi itu. Tapi, kutahu, ia tak pernah
kembali. Suara-suara gumaman orang mendengung-dengung di telingaku. Suara yang lama-lama
mirip doa-doa. Ayat-ayat itu. Tapi, wangi itu kembali, atau bahkan ia tak
pernah pergi. Ia memenuhi rongga hidung lalu mengalir dalam kepalaku, membius
kesadaranku. Shinta mana? Biarkan, dia di kamar. Dia pasti sangat terpukul. Dia
kini sebatang kara. Nanti kalau Shinta sudah besar, Shinta mau jadi apa? Jadi
guru, jawabku begitu bersemangat waktu itu. Lalu, Ibu akan memelukku. Begitu
hangat. Tidak seperti pagi ini. Tak sedingin ini. Ibu kenapa pucat? Ibu tak
apa-apa, Nak. Ibu hanya kurang tidur. Ibu istirahat saja! Biar Shinta yang
menjahit baju Bu Titik! Tidak, kamu tidak bisa menjahit. Ibu tidak apa-apa.
Wangi itu lagi. Kabut masih menebal di luar, menggantung di atas kaca jendela
yang mengembun, sesak dalam dingin. Bunga kemboja merah gugur satu-satu,
mungkin batangnya lelah oleh dingin. Ia putus asa. Tirai jendela membeku, hanya
terkadang mengayun disibak angin. Sisa hangat bulan masih tertinggal
dihelai-helainya yang tipis. Ibu berhati baja walau tubuhnya sangat ringkih.
Kaki kurus itu seolah tak mampu menyangga tubuhnya yang walau hanya seringan
kapas. Kulit wajah yang keriput, bukan karena usia, tapi karena masa yang
terlampau kejam menderanya. Ia masih sangat muda, bagiku. Tak pernah ia
mengeluh walau hanya sepenggal kata. Ia selalu tersenyum dan menyanyikan
tembang Pangkur atau Durma yang mengalun merdu dalam sungai-sungai di rongga
hatiku. Atau mendongeng kisah lampau, seolah-olah matanya yang luas itu seperti
benar-benar menyaksikannya di waktu itu. Kisah-kisah itu seperti air bagiku
yang selalu sepi, dan kering, lalu Ibu akan menyiraminya dan menidurkanku
dengan ciuman hangatnya. Ibu tak pernah mengeluh, setidaknya padaku. Tapi,
kutahu, setiap malam-malamnya, ia selalu terjaga, bangkit menyingkap gelap. Aku
mendengar kericik air pancuran di halaman belakang. Dalam dingin, ia basahi
tubuhnya yang sering ngilu-ngilu itu karena rematik. Tapi, agaknya ia tak
pernah perduli. Ia lalu masuk ke bilik, yang kutahu setiap waktu-waktu
tertentu, ia juga masuk ke sana, berganti kain yang serba putih, lalu
bergumam-gumam sendiri dalam bahasa itu. Bahasa yang kata Ibu, lebih agung dari
ribuan puisi. Kalau aku ingin melihat Ibu dalam bilik itu, aku intip dari balik
pintu yang sedikit terbuka, Ibu duduk dengan wajah rembulan, tengadah dalam
puji-pujian padaNya, pada sesuatu yang kata Ibu, maha tinggi, yang menciptakan
alam semesta. Tapi aku tak paham itu apa.
Shinta, kamu sudah besar, sudah
waktunya untuk sholat. Kenapa kita harus sholat? Karena itu wujud syukur kita
kepada Sang Pencipta. Aku tak pernah mengerti mengapa Ibu harus berterima
kasih. Atas apa? Atas air mata itu? Atas penghianatan Ayah? Atas kepergiannya
dalam pelukan wanita lain? Atas ejekan dan cemoohan orang-orang yang mengatakan
aku anak haram? Apa itu haram? Bukankah itu untuk babi?\ Tapi aku manusia!
Jangan begitu, Nak. Ini hanya cobaan. Tuhan yang lebih mengerti yang terbaik
untuk kita. Mungkin duka lebih manis, lebih indah dari tawa, jika tawa akan
membuat kita melupakan-Nya. Dia tidak pernah tidur, Nak. Dia sedang menguji
hamba-hamba-Nya yang beriman. Wangi itu datang lagi. Gumam-gumaman itu belum
berhenti. Ibu ingin kembali pada-Nya, setelah apa yang Ibu lakukan di masa
lalu. Ibu tak bisa apa-apa. Semua telah terjadi, Ibu hanya bisa melakukan ini,
kata Ibu dengan matanya yang sungai dari hulu di gunung yang tinggi. Aku tak
pernah mampu menyelaminya, terlalu luas dan dalam, terlalu berliku. Ibu tak
ingin engkau seperti Ibu, Nak. Ibu mau kau jadi anak yang sholehah, yang
berbakti dan taat kepada-Nya, katanya lagi. Apa pula itu sholehah? Aku juga
sekolah. Aku sering mendengarnya, bersama dengan kata-kata yang lain, yang
terlampau banyak dan membuat kepalaku berdenyut. Walau Ibu hanya seorang
penjahit, ia tak pernah mau berhenti menyekolahkan aku, hingga sekarang, hingga
aku menjadi sarjana. Belum, masih pekan depan, dan ia tak akan pernah melihat
aku dalam upacara itu. Sepertinya, aku jadi batu. Bukan Ibu yang melakukannya
karena ku tahu ia tak akan setega itu. Lagipula, aku sangat menyayanginya,
lebih
dari
apa pun. Setelah segala apa yang ia alami, pantaskah aku menyakitinya?
Entahlah, mungkin orang lain, mungkin Ayah, karena aku pernah memakinya, walau
umurku belum genap enam tahun waktu itu. Mungkin juga Tuhan. Entahlah. Tapi,
yang jelas, aku telah menjadi batu. Bukan diriku yang sebenarnya karena aku
tetap seorang gadis yang periang dan bahkan berprestasi di sekolah. Tapi, aku
tak pernah mengenal Tuhan. Lebih tepatnya tidak mau karena Ibu nyaris menyerah
selalu berusaha mengajarkan aku, apa yang ia bisa. Tapi, aku tak pernah mau.
Bahkan seolah aku tak pernah mendengar apa-apa tentangnya. Wangi itu kembali.
Samar-samar dibawa angin yang merintis masuk lewat celah tirai. Wangi yang
begitu kukenal.
Ibu suka? Ibu tidak menjawab,
hanya mentari hangat terbit dari bibirnya, mengalir ke lengannya yang lalu
memelukku hangat. Selamat hari ibu! Bunga melati buat Ibu! Dan Ibu semakin erat
memelukku. Ibu sangat suka bunga ini. Kata Ibu, melati itu putih, suci. Seperti
ia yang ingin kembali suci. Tapi, ia bilang itu tidak mungkin. Kenapa? tanyaku.
Karena ibu adalah lumpur. Ia tak akan menumbuhkan melati, apa lagi menjadi
melati. Ia terlalu hina sebagai melati. Tapi, Ibu melati, sahutku. Ibu melati
dalam hatiku! Dan mentari itu kembali terbit lewat bibirnya, namun tak pernah
ia naik ke langit biru. Wanginya, aku memang mengenalnya. Seperti wangi itu,
wangi Ibu, wangi kesayangan Ibu. Tiba-tiba ada resah dalam nadiku, membuncah
dalam dadaku. Aku tak mau sendiri. Aku ingin mengejar apa yang selama ini
dikejar Ibu dalam kesendiriannya. Aku ingin mencari apa yang dicintainya dalam
penantiannya hingga ia sekarang telah berhasil mendapatkannya. Nama itu. Nama
itu, aku ingin mencarinya sebagaimana Ibu. Nama itu. Tuhan. Allah. Wangi itu
kembali menyeruak dan membongkar keterasinganku. Wangi itu menyeretku dalam
bayangan Ibu. Ibu yang begitu kucintai. Ibu yang tadi pagi, sebelum mentari
benar-benar terbit dari balik punggung bukit yang berduri, terduduk kaku dalam
sujudnya, sujud terakhirnya, sujud pada yang dirindukan dalam keterasingannya,
sujud pada Tuhan, sujud pada Allah. Biarkan aku mengenal-Nya, Ibu! Biarkan aku
mengenal-Nya! Lalu ku tahu harus bangkit. Karena, Ibu menunggu di luar sana
dengan terbaring, serta mentari di bibirnya yang tak pernah terbenam,
kebahagiaannya berjumpa Kekasih. Ibu menungguku. Dan aku harus bergegas.
Sebelum doa-doa itu usai, lagu dan puisi yang dicintai Ibu, yang dibaca Ibu
dalam malam-malamnya. Sebelum mentari beranjak pergi. Karena, Ibu menungguku,
untuk mengantar kepergiannya. Aku membuka pintu, dan wangi itu lalu menyeruak.
Wangi melati.
0 komentar:
Posting Komentar