Kasih sepanjang jalan
By Ahmad Muslih Zuhdi
Di stasiun
kereta api Gambir, aku merapatkan jaket tebalku erat-erat. Pukul 5 pagi. Musim
dingin yang hebat. Udara terasa beku mengigit. Januari ini memang terasa lebih
dingin dari tahun-tahun sebelumnya. Di luar angin masih tertiup dengan kencang
sejak kemarin. Jakarta tahun ini tertiup
angin yang kencang.
Stasiun yang
selalu ramai ini agak sepi karena hari masih pagi. Ada seorang bapak-bapak di
ujung kursi, duduk menahan kantuk. Aku melangkah perlahan ke arah mesin
minuman. Sesaat setelah sekeping uang logam aku masukkan, sekaleng teh hangat berpindah ke tanganku.Teh itu
sejenak menghangatkan tubuhku, tapi tak lama karena ketika tanganku menyentuh
kartu pos di saku jaket, kembali aku berdebar.
Tiga hari
yang lalu kartu pos ini tiba di rumahku. Tidak banyak beritanya, hanya sebuah
pesan singkat yang dikirim adikku, "Ibu sakit keras dan ingin sekali
bertemu kakak. Kalau kakak tidak ingin menyesal, pulanglah meski sebentar, kak ". Aku
mengeluh perlahan membuang sesal yang bertumpuk di dada. Kartu pos ini dikirim Maudy
setelah beberapa kali ia
menelponku tapi aku tak begitu menggubris ceritanya. Mungkin ia bosan, hingga
akhirnya hanya kartu ini yang dikirimnya. Ah, waktu seperti bergerak lamban,
aku ingin segera tiba di rumah, tiba-tiba rinduku pada ibu tak tertahan. Tuhan,
beri aku waktu, aku tak ingin menyesal.
Sebenarnya
aku sendiri masih tak punya waktu untuk pulang. Kesibukanku bekerja di sebuah
perusahaan swasta di kawasan Pulogadung, ditambah lagi mengurus dua putera
remajaku, membuat aku seperti tenggelam dalam kesibukan di kota metropolitan ini. Inipun aku pulang setelah kemarin
menyelesaikan sedikit urusan pekerjaan di Jakarta. Lagi-lagi urusan pekerjaan.
Sudah hampir
sepuluh tahun aku menetap di Jakarta. Tepatnya sejak aku menikah dengan Asti, wanita
Jakarta yang aku kenal di Sengkang, kota kelahiranku. Pada saat itu Asti sendiri
memang sedang di Sengkang dalam rangka urusan kerjanya. Setahun setelah
perkenalan itu, kami menikah.
Masih
tergambar jelas dalam ingatanku wajah ibu yang menjadi murung ketika aku
mengungkapkan rencana pernikahan itu. Ibu meragukan kebahagiaanku kelak menikah
dengan wanita Jakarta ini. Karena tentu saja begitu banyak perbedaan budaya diantara
kami, dan tentu saja ibu sedih karena aku harus berpisah dengan keluarga untuk
mengikuti Asti. Saat itu aku berkeras dan tak terlalu menggubris kekhawatiran
ibu.
Pada
akhirnya memang benar kata ibu, tidak mudah menjadi suami orang Jakarta. Di
awal pernikahan begitu banyak pengorbanan yang harus aku keluarkan dalam rangka
adaptasi, demi keutuhan rumah tangga. Hampir saja keutuhan rumah tangga tak
bisa kami pertahankan. Ketika semua hampir karam, Ibu banyak membantu kami
dengan nasehat-nasehatnya. Akhirnya kami memang bisa sejalan. Asti juga pada
dasarnya baik dan penyayang, tidak banyak tuntutan.
Namun ada
satu kecemasan ibu yang terjadi, perpisahan. Sejak menikah aku mengikuti Asti
ke kotanya. Aku sendiri memang sangat kesepian diawal masa jauh dari keluarga,
terutama ibu, tapi kesibukan mengurus rumah tangga mengalihkan perasaanku.
Ketika anak-anak beranjak remaja, aku juga mulai bekerja untuk membunuh waktu.
Aku kaget
ketika mendengar pemberitahuan kereta Jakarta Expres yang aku tunggu akan segera tiba.
Waktu seperti terus memburu, sementara dingin semakin membuatku menggigil.
Sesaat setelah melompat ke dalam kereta aku bernafas lega. Udara hangat dalam
kereta mencairkan sedikit kedinginanku. Tidak semua kursi terisi di kereta ini
dan hampir semua penumpang terlihat tidur. Setelah menemukan nomor kursi ,aku
merebahkan tubuh yang penat dan berharap bisa tidur sejenak seperti mereka.
Tapi ternyata tidak, kenangan masa lalu yang terputus tadi mendadak kembali
berputar dalam ingatanku.
Ibu..ya betapa
kusadari kini sudah hampir lima tahun aku tak bertemu dengannya. Di tengah
kesibukan, waktu terasa cepat sekali berputar. Terakhir ketika aku pulang
menemani puteraku, Darmaji dan Algani, liburan musim panas. Hanya dua minggu di
sana, itupun aku masih disibukkan dengan urusan kantor yang cabangnya ada di Makassar.
Selama ini aku pikir ibu cukup bahagia dengan uang kiriman ku yang teratur
setiap bulan. Selama ini aku pikir materi cukup untuk menggantikan semuanya.
Mendadak mataku terasa panas, ada perih yang menyesakkan dadaku. "Aku
pulang bu, maafkan keteledoranku selama ini " bisikku perlahan.
Cahaya
matahari pagi sudah tampak. Kereta api yang melesat cepat seperti peluru ini
masih terasa lamban untukku. Betapa masih jauh jarak yang terentang. Aku menatap
ke luar. Angin yang masih saja tertiup . Tiba-tiba aku teringat Algani putera
sulungku yang duduk di bangku SMA kelas satu. Bisa dikatakan ia tak berbeda
dengan remaja lainnya di Jakarta ini. Meski tak terjerumus sepenuhnya pada
kehidupan bebas remaja kota besar, tapi Algani sangat ekspresif dan semaunya.
Tak jarang kami berbeda pendapat tentang banyak hal, tentang norma-norma
pergaulan atau bagaimana sopan santun terhadap orang tua.
Aku sering
protes kalau Algani pergi lama dengan teman-temannya tanpa izin padaku atau mamanya.
Karena aku dibuat menderita dan gelisah tak karuan dibuatnya. Terus terang
kehidupan remaja Jakarta yang kian bebas membuatku khawatir sekali. Tapi
menurut Algani hal itu biasa, pamit atau selalu lapor padaku dimana dia berada,
menurutnya membuat ia stres saja. Ia ingin aku mempercayainya dan memberikan
kebebasan padanya. Menurutnya ia akan menjaga diri dengan sebaik-baiknya. Untuk
menghindari pertengkaran semakin hebat, aku mengalah meski akhirnya sering
memendam gelisah.
Darmaji juga
begitu, sering ia tak menggubris nasehatku, asyik dengan urusan sekolah dan
teman-temannya. Mamanya tak banyak komentar. Dia sempat bilang mungkin itu
karena kesalahanku juga yang kurang menyediakan waktu buat mereka karena
kesibukan bekerja. Mereka jadi seperti tidak membutuhkan papanya. Tapi aku
berdalih justru aku bekerja karena sepi di rumah akibat anak-anak yang
berangkat dewasa dan jarang di rumah. Dulupun aku bekerja ketika si bungsu Darmaji
telah menamatkan SD nya. Namun memang dalam hati ku akui, aku kurang bisa
membagi waktu antara kerja dan keluarga.
Melihat
anak-anak yang cenderung semaunya, aku frustasi juga, tapi akhirnya aku alihkan
dengan semakin menenggelamkan diri dalam kesibukan kerja. Aku jadi teringat
masa remajaku. Betapa ku ingat kini, diantara ke lima anak ibu, hanya aku yang
paling sering tidak mengikuti anjurannya. Aku menyesal. Sekarang aku bisa
merasakan bagaimana perasaan ibu ketika aku mengabaikan kata-katanya, tentu
sama dengan sedih yang aku rasakan ketika Algani atau Darmaji juga sering
mengabaikanku. Sekarang aku menyadari dan menyesali semuanya. Tentu sikap kedua
putera ku adalah peringatan yang Allah berikan atas keteledoranku dimasa lalu.
Aku ingin mencium tangan ibu.
Di luar angin
semakin kencang, semakin aku tak bisa melihat pemandangan, semua menjadi kabur gara-gara
angin yang kencang. Juga semakin kabur oleh rinai air mataku. Tergambar lagi
dalam benakku, saat setiap sore ibu mengingatkan kami kalau tidak pergi mengaji
ke Fastabiqul Akhirat. Ibu sendiri sangat taat beribadah. Melihat ibu khusu'
tahajud di tengah malam atau berkali-kali mengkhatamkan alqur'an adalah
pemandangan biasa buatku. Ah..teringat ibu semakin tak tahan aku menanggung
rindu. Entah sudah berapa kali kulihat arloji dipergelangan tangan.
Akhirnya
setelah menyelesaikan semua urusan boarding-pass di bandara Soekarno-Hatta, aku harus
bersabar lagi di pesawat. Tujuh jam perjalanan bukan waktu yang sebentar buat
yang sedang memburu waktu seperti aku. Senyum ibu seperti terus mengikutiku.Syukurlah, Window-seat, no smoking area,
membuat aku sedikit bernafas lega, paling tidak untuk menutupi kegelisahanku
pada penumpang lain dan untuk berdzikir menghapus sesak yang memenuhi dada.
Melayang-layang di atas selat sunda sambil berdzikir memohon ampunan-Nya
membuat aku sedikit tenang. Gumpalan awan putih di luar seperti
gumpalan-gumpalan rindu pada ibu.
Sengkang belum
banyak berubah. Semuanya masih seperti dulu ketika terakhir aku
meninggalkannya. Kembali ke Sengkang seperti kembali ke masa lalu. Kota ini
memendam semua kenanganku. Melewati jalan-jalan yang dulu selalu aku lalui,
seperti menarikku ke masa-masa silam itu. Kota ini telah membesarkanku, maka
tak terbilang banyaknya kenangan didalamnya. Terutama kenangan-kenangan manis
bersama ibu yang selalu mewarnai semua hari-hariku. Teringat itu, semakin tak
sabar aku untuk bertemu ibu.
Rumah
berhalaman besar itu seperti tidak lapuk dimakan waktu, rasanya masih seperti
ketika aku kecil dan berlari-lari diantara tanaman-tanaman itu, tentu karena selama
ini ibu rajin merawatnya. Namun ada satu yang berubah, ibu.
Wajah ibu
masih teduh dan bijak seperti dulu, meski usia telah senja tapi ibu tidak
terlihat tua, hanya saja ibu terbaring lemah tidak berdaya, tidak sesegar
biasanya. Aku berlutut disisi pembaringannya, "Ibu...Mushlih datang,
bu..", gemetar bibirku memanggilnya. Ku raih tangan ibu perlahan dan
mendekapnya didadaku. Ketika kucium tangannya, butiran air mataku membasahinya.
Perlahan mata ibu terbuka dan senyum ibu, senyum yang aku rindu itu, mengukir
di wajahnya. Setelah itu entah berapa lama kami berpelukan melepas rindu. Ibu
mengusap rambutku, pipinya basah oleh air mata. Dari matanya aku tahu ibu juga
menyimpan derita yang sama, rindu pada anaknya yang telah sekian lama tidak
berjumpa. "Maafkan Mushlih, Bu.." ucapku berkali-kali, betapa kini
aku menyadari semua kesalahanku selama ini.
0 komentar:
Posting Komentar