Hari itu adalah hari pengumuman kelulusan tingkat SMA, semua siswa diliputi rasa cemas dan ketakutan. Namun, seorang siswa yang bernama Ainy sedang berjalan menuju papan pengumuman dengan langkah yang begitu meyakinkan yang seolah-olah menggambarkan bahwa ia lulus dengan nilai yang memuaskan. Ainy adalah seorang siswa yang berasal dari kampung, ia hidup sebatang kara di tengah desas-desus ibukota yang penuh kezaliman. Tapi, ia tetap memegang teguh akidah, akhlak dan imannya. Terkadang hinaan dari teman-temannya selalu dia terima tapi Ainy tak pernah dendam kepada siapapun yang telah menyakiti hatinya. Di pertengahan malam ia selalu bangun untuk bersujud dan memohon kepada Allah agar orang yang menyakitinya senantiasa diampuni dosanya. Sungguh mulia hati gadis itu.
Setelah beberapa menit di sekolah, Ainy mendengar sebuah pengumuman namun ia tak mendengarnya begitu jelas. “eh ada pengumuman apa?” Tanya Ainy pada salah seorang siswa. Namun, pertanyaan Ainy tak dijawab oleh orang itu. “hai, Ainy ayo cepat kita ke depan kantor!!” kata Sinta sahabat Ainy. “memangnya ada apaan sih?” Tanya Ainy, “aduh jangan banyak Tanya ayo cepat!” kata Sinta sambil menarik Ainy. Dengan terpaksa dan rasa penuh penasaran Ainy berlari beriringan dengan Sinta. Di depan kantor terpampang sebuah pengumuman, Ainy tak dapat melihat dengan jelas pengumuman tersebut karena terhalangi oleh siswa yang ada di depannya. “aduh Sin, aku tidak bisa lihat pengumuman itu” ungkap Ainy “iya, saya juga” jawab Sinta. Hati Ainy berdebar tak menentu, “Ya Alah semoga hamba lulus”, pinta Ainy dalam hati. Setelah beberapa menit Ainy berhasil melihat pengumuman itu dengan jelas ia pun mulai mencari namanya. Ainy pun membaca nama mulai dari nomor urut pertama ZAIRAH ABIDIN……. MUTMAINNAL QALBI….. dan mata Ainy pun berlinang saat membaca nama NURUL AINY, ia bahagia karena berhasil lulus dengan predikat amat baik, Sinta pun demikian.
Keduanya berpelukan diliputi isap tangis bahagia sekaligus sedih karena mereka akan berpisah. “Ainy, jangan pernah lupa sama aku yah”,ungkap Sinta dengan suara terdesak-desak. “aku tidak akan pernah melupakanmu, Sin. Hari ini, esok, dan selamanya kamu tetap jadi sahabat terbaikku”. Jawab Ainy meyakinkan. Ainy melepaskan pelukan Sinta dan berkata “Sin, aku harus pulang ke kampong sekarang aku sudah rindu dengan ayah ibuku, aku yakin mereka juga merindukanku”. Kata Ainy. “iya, hati-hati Ainy! Ayo aku antar ke terminal”. Kata Sinta. Mereka pun berjalan menuju terminal, dalam perjalanan mereka saling mencurahkan isi hatinya dan keluh-kesahnya selama sekolah di SMA.
“kamu pulang saja Sin,!”kata Ainy “aku tidak akan pulang sebelum kamu berangkat”. Jawab Sinta. Beberapa saat kemudian mereka dikagetkan dengan suara klakson sebuah bus yang tepat berhenti di depan mereka. “mau kemana, mba?” Tanya sopir tersebut “kampung Sukamaju, pak”, jawab Ainy “ya sudah silahkan naik” kata si sopir. Air mata Sinta bercucuran ia tak sanggup berpisah dengan sahabatnya yang selalu memberinya motivasi dan semangat untuk tetap tersenyum menjalani kehidupan. Ainy adalah sesosok remaja yang dijadikan panutan oleh Sinta, Sinta dapat mengetahui makna kehidupan karena Ainy yang selalu menasehatinya. Begitu pula sebaliknya, Ainy bercucuran air mata dan tak sanggup menatap mata sahabatnya, orang yang selama ini selalu membantunya dalam menjalani problema kehidupan.
Seketika suasana hening, tak ada kata yang sanggup terucap dari keduanya hanya linangan air mata sebagai tanda bahwa keduanya saling menyayangi. “Ainy, jangan pergi, jangan tinggalkan aku!” pinta Sinta “aku harus pergi Sin, aku harus ketemu dengan ibuku dan mengabarinya bahwa aku telah lulus”. Jawab Ainy sambil memeluk Sinta “jaga dirimu baik-baik, Sin aku yakin suatu saat kita pasti akan bertemu” kata Ainy “kamu juga hati-hati ya Ainy” kata Sinta. Perlahan Ainy melepaskan pelukan Sinta “Sin, aku pergi dulu ya. Semoga Allah mempertemukan kita suatu saat nanti”, kata Ainy “amin… kabari aku kalau kamu sudah sampai, dan kabari aku kamu mau kuliah dimana ya, Ainy”, kata Sinta. Hanya senyum dan anggukan kepala dari Ainy sebagai jawaban kata-kata Sinta.
Ainy pun melambaikan tangan kepada Sinta dengan air mata yang masih bercucuran, Sinta juga demikian. Sinta meninggalkan tempatnya setelah melihat Ainy berangkat. Dalam perjalanan Ainy sudah tidak sabar ingin bertemu dengan ayah dan ibunya, di benaknya sudah terbayang senyuman ayah dan bunya serta pelukan hangat dari keduanya yang akan menyambut kedatangannya. Apalagi ia membawa kabar gembira untuk ayah dan ibunya.
Setelah 5 jam perjalanan akhirnya ia tiba di sebuah desa yang letaknya 5 km dari kampungnya, ia melihat pemandangan dan udara segar yang telah lama ia tinggalkan “desa ini tak banyak perubahan setelah aku tinggalkan” gerutu Ainy dalam hati. Anak gembala yang sedang berlari menghalau hewan gembalaannya, sekumpulan anak-anak yang sedang bermain layangan, anak-anak yang sedang berkejar-kejaran dan para petani yang sedang menuai padi adalah pemandangan desa yang sudah lam Ainy rindukan. Ainy semakin tidak sabar untuk bertemu dengan ayah dan ibunya, “biasanya jam segini ayah sama ibu masih ada di kebun”, pikir Ainy.
Beberapa jam kemudian Ainy sampai di desanya, “sepertianya ada suasana berbeda dari desa ini, desa yang dulunya ramai mengapa sepi seolah-olah tak ada manusia di desa ini”. Gerutu Ainy dalam hati. Ainy pun samapi di depan sebuah lorong ya lorong itu adalah jalanan masuk rumahnya. Hatinya resah setelah sampai di rumahnya,”Assalamu’alaikum!” ucap Ainy. Setelah tiga kali ia mengucap salam namun tak ada jawaban, dengan perlahan ia membuka pintunya. Ia kaget melihat rumahnya yang sepertinya sudah tidak ada orang yang tinggal selama bertahun-tahun. Rumah yang dulunya bersih kini berlapis debu. “keman semua orang?????!”.
0 komentar:
Posting Komentar