By : Leli Amalia Herianto
Perempuan-perempuan itu dijejerkan begitu saja. Jumlahnya mungkin sepuluh, mungkin lima belas. Mereka menebar geliat pandang gelisah. Perempuan-perempuan itu seperti dihempaskan dari langit dan menjadi perempuan-perempuan tersesat. Kata orang, mereka dijejerkan karena suatu persamaan. Semuanya adalah perempuan berjengger.
Konon kabarnya jengger adalah kutukan bagi perempuan-perempuan yang dilaknat. Perempuan yang melanggar etika kesopanan. Perempuan yang menjual kelaminnya demi nasi dan lauk pauknya. Karena itulah mereka dijejerkan. Mereka harus menerima pengadilan. Mereka harus menjawab pertanyaan-pertanyaan.
Aku sendiri memupuk kemarahan pada perempuan-perempuan berjengger. Bagiku mereka memuakkan dan sampah. Mereka tak bekerja dengan bantalan bahu dan blazer. Mereka tak mengerjakan pekerjaan-pekerjaan terhormat. Lihatnya perempuan paling ujung. Baju merahnya telah kumal. Kain di kakinya telah lusuh. Lidahnya menggeliat-geliat basah, siap memangsa jantan-jantan yang datang. Liatlah perempuan di tengah-tengah. Baju birunya berubah putih. Dadanya turun naik dengan tonjolan yang digerak-gerakkan, mengundang hasrat. Lihatlah pula perempuan di ujung, kain di atas pahanya ia gerak-gerakkan. Ia biarkan paha itu terbuka dengan kain yang berkibar-kibar.
Seorang laki-laki kekar dengan badan berbulu datang mendekat. Kedua tangannya menenteng gada juga pecut. Lima laki-laki lain bergerak dari kejauhan. Perempuan-perempuan berjengger terkurung diantara laki-laki kekar. Kata orang, mereka adalah para penjagal yang datang untuk bertanya atau memecut para pembangkang
“Hai perempuan satu, katakan apakah engkau berjengger!” si perempuan pertama hanya mengangguk dengan acuh sambil terus menjulur-julurkan lidahnya.
“Mengapa kau berjengger, telah berapa batang yang kau peras?”
“Aku memeras sebanyak yang kumau. Dan telah kusebarkan jengger yang kumiliki. Ha ha ha!” si perempuan pertama tertawa keras dan terbahak-bahak.
Si lelaki kekar memindahkan langkahnya pada perempuan kedua.
“Hai perempuan dua, kaupun berjengger?”
Si Perempuan dua hanya diam.
“Hai perempuan dua, kau tidak tuli bukan. Apakah engkau berjengger?”
“Kalau kau ingin tahu lihatlah sendiri!” kata si perempuan dua dengan ketus. Aku memandang si perempuan dua dengan heran. Bumi seperti dibalikkan begitu saja, ketika aku melihat wajahku di sana. Mengapa perempuan ini tak sama dengan sepuluh perempuan lainnya. Yang memakai baju-baju kumal dengan belahan dada rendah. Yang bibirnya bergincu blepotan hingga ke pipi. Perempuan ini mengenakan blazer dan bantalan bahu. Dia memakai blazer dan bantalan bahu milikku. Perempuan setan, perempuan sampah.
“Jangan kira karena bajumu, aku takkan mencambukmu, atau memotong lidahmu bila kau tak menjawab! ” si penjagal kekar menggelegar.
Si perempuan dua mengkeret ketakutan. Ketakutan kurasakan memenuhi tempurung kepalaku. Kuputuskan untuk menganggukkan kepala. Kusarankan si perempuan dua untuk tak melawan si penjagal.
“Bagaimana kau bisa berjengger, pekerjaan hina apa yang telah kau kerjakan?”
“Aku tidak tahu, dia ada begitu saja di kelaminku.” kataku dengan suara dibuat memelas. Berharap ia mulai kasihan padaku.
“Jangan bohong kau, pelacur!”
“Aku bukan pelacur. Kau lihatlah bajuku. Aku tidak seperti mereka!”
“Jangan mencari alasan, bagaimana kau bisa berjengger bila bukan pelacur!”
“Aku tidak bohong, sungguh. Jangan laknat aku tolonglah. Bebaskan dan berikan pengampunan. Aku akan bakar jengger ini, kembali menjadi perempuan tanpa jenggger. Percayalah aku tidak berbohong, karena semua orang pun percaya padaku. Janganlah menuduhku dengan jengger di kelaminku. Telah banyak kulakukan hal-hal mulia. Telah kutolong anjing yang kuyup terluka oleh hempasan mobil. Telah kubagikan receh-receh pada ratusan pengemis. Aku pun telah membayar lebih kepada supir-supir taksi yang mengantarku pulang. Telah kusumbang ratusan juta rupiah untuk anak-anak terlantar agar mereka bersekolah. Tentulah aku perempuan terhormat. Aku layak diampuni karena aku bukan perempuan berjengger yang sama dengan yang lain. Yang menjulur-julurkan lidah dan menggerakkan buah dada. Aku bekerja dengan blazer dan bersepatu. Antara waktu siang dan sore. Kukerjakan pekerjaan-pekerjaan terhormat!”
Ku dengar suara tawa menggema di ruangan. Entahkah aku memang pernah mendengarnya. Atau tawa itu terdengar karena aku terlalu takut untuk mendengarnya. Suara tawa itu terdengar saat mataku telah tertutup rapat, saat suntikan bius membuat otakku berhenti memberi kabar. Saat orang-orang berseragam hijau mulai menjamahku dari segala sudut. Aku merasa tertipu. Mengapa mereka tertawa saat aku tak mampu lagi menggerakkan tubuhku, atau memerintah bibirku untuk bicara. Apakah mereka hanya tak ingin membuatku malu atau sebaliknya ingin berbisik-bisik di belakang. Brengsek.
Andai saja tak terlalu banyak orang di ruangan ini yang membuat mereka bisa saling bergunjing. Aku ingin mereka tuli juga bisu. Aku ingin mereka tak berlidah bila mungkin tak berotak. Agar mereka tak bisa mentertawakanku meskipun di dalam benak.
“Sudah selesai Bu!” sebuah kalimat yang diucapkan lembut membangunkanku. Kurasakan tubuhku telah berselimut dan tidur diantara jejeran pasien lain. Senyum para perawat terasa seringai. Betulkah mereka tersenyum dengan tulus untukku.
Kuusahakan sesedikit mungkin bicara. Juga menjawab pertanyaan. Ingin kuatur kata-kata yang bakal ke luar dari mulut para perawat itu. Dan memastikan mereka berhenti menyeringai. Memang yang ke luar dari lidah mereka kata-kata lembut, juga senyum ramah. Apakah mereka telah begitu terlatih tak menunjukkan pergunjingan, meskipun hanya dalam benak.
“Itunya sakit!” seorang perawat mendatangiku dan bertanya dengan suara lembut juga. Tidak lupa tersenyum. Namun sekali lagi terlihat seperti seringai.
“Dikit.!” kataku lembut sambil tersenyum ramah. Perawat itu harus tahu aku memang perempuan baik-baik.
“Kepalanya masih pusing?” katanya lagi sambil tersenyum atau menyeringai.
“Udah nggak!” jawabku lagi tak kalah lembut.
Setelah pertanyaannya terjawab, perawat itu berlalu sambil sekali lagi tersenyum atau menyeringai. Aku hanya dapat menarik nafas lega. Perawat terakhir ini sudah bertanya dengan kalimat yang membuat jantungku berlari kencang. Ingin kukerahkan semua kekuatan agar aku bisa menatap matanya, dan mengatur isi kepala si perawat. Juga semua perawat. Juga semua pasien yang ada di ruangan ini. Agar tak ke luar kata ejeken di bibir atau tertawaan di belakang. Aku tidak mau mengetahuinya walaupun hanya dalam sorot mata. Sialan. Mengapa jengger ini tetap membawa masalah bahkan saat ia telah dibakar, dibabat dan dimusnahkan.
Negeri ini sedang dilanda wabah. Begitu kabar yang berhembus akhir-akhir ini. Jengger menebar begitu mudah. Jengger bisa diterbangkan angin dan menempel begitu saja. Ia menempel tanpa memandang waktu atau orang. Kabarnya seorang penyihir perempuan yang mendendamlah biang keladi wabah ini. Ia kirimkan jengger pada sebanyak mungkin perempuan agar ia tak lagi sendirian.
Si perempuan pembawa kabar bertanya balik padaku, mengapa kutanyakan tentang jengger. Dengan berbohong kukatakan, aku banyak mendengar kabar tentang jengger. Cerita ini telah menjadi gosip yang dibicarakan diam-diam.
Sebetulnya bukan itu, aku hanya mencoba mencari tahu darimana jengger ini berasal. Apakah ia berasal dari lelaki kegelapan yang tiba-tiba membekapku di sebuah gang. Atau ia terbang bersama kutu yang suka menempel di toilet-toilet umum. Atau barangkali dokter kulit kelaminlah yang telah menempelkannya saat aku lengah. Saat aku menyuruhnya menyembuhkan penyakit keputihan yang menggangguku.
Aku berasal dari jaringan putih, barangkali jaringan yang paling putih. Mungkin sedikit abu-abu, namun kata orang masih wajar. Jaringan seputih ini, sangat anti dengan wabah yang bernama jengger. Semua orang telah tahu itu. Semua orang telah percaya itu. Dokter saja heran bagaimana jengger bisa menempel di jaringan putih ini. Analisanya, barangkali ada jengger yang telah bermutasi hingga bisa hidup di segala musim juga segala jaringan.
Perempuan-perempuan itu dijejerkan begitu saja. Jumlah mereka mungkin sepuluh atau lima belas. Dari mulut mereka yang berdenging ke luar sabda-sabda. Sumpah serapah menjulur dari lidah yang membentuk huruf melingkar-lingkar.
Perempuan-perempuan itu bersepatu mengkilap. Celana panjang menutup mata kaki. Rambut disasak atau di-blow ke belakang. Yang jelas mereka mengenakan blazer dan bantalan bahu. Mereka bergincu tipis sewarna bibir. Alis tipis sewarna alis. Perona pipi tipis sewarna pipi. Tapi mereka meneriakkan teriakan-teriakan garang. Mulut mereka membentuk bulatan, trapesium, persegi panjang atau kubus.
Perempuan-perempuan itu rupanya berdiri berhadapan dengan gerombolan perempuan-perempuan berjengger. Kemanakah para penjagal kekar yang tadi meneriakkan ancaman-ancaman. Kemana gerombolan laki-laki garang pembawa pecut dan gada itu.
Kumpulan perempuan berjengger masih dengan pakaian kumal yang semakin kumal. Warna-warnanya telah berganti warna baru, yang barangkali belum sempat dinamai oleh para ilmuwan. Rambut keriting kusut ditambah sorot mata sayu. Senyum hanya di ujung bibir mirip mencibir. Tangan di pinggang berkacak menantang. Sementara lidah masih menjulur-julur, liur masih menetes-netes, paha dan dada masih mengangkang menantang.
Aku mengerti mengapa perempuan-perempuan itu dijejerkan. Aku tahu dimana tempatku berada. Aku segera bergerak ke arah barisan yang kumau. Posisiku baru kelihatan jelas saat aku sampai pada langkah ke sepuluh. Langkah kesebelas terasa semakin berat dan membuat kaki-kakiku terpaku. Tiba-tiba sebuah tangan, atau barangkali belalai gajah menarik tubuhku dan menghempaskannya. Tubuhku menabrak tubuh-tubuh para perempuan berjengger. Sebuah sosok menjulang, mungkin monster menatapku dengan garang.
“Jangan coba-coba macam-macam, perempuan jengger!”
Aku mengkeret takut.
“Di sini tempatmu!” monster itu berbicara lagi.
“Me..nga..pa!” hanya sepatah kalimat itu yang ke luar dari mulutku yang bergetar
“Karena di kelaminmu ada jengger. Kau mau mungkir?”
“Sudah tidak ada lagi bukan?” kataku hati-hati.
“Tempatmu sudah jelas, kau tak bisa berpindah-pindah.!”
Aku hanya dapat mengikuti kemauan si monster. Si monster ini tentu sulit diajak bicara panjang lebar. Ia takkan cukup sabar menunggu cerita-ceritaku. Bahwa aku berasal dari jaringan paling putih. Bahwa aku menyimpan antibodi untuk segala jenis jengger. Ia pun takkan mendengar bila dokter pun menyatakan keheranan. Ia juga takkan peduli jengger ini barangkali jenis yang telah bermutasi. Tubuh besar menyeramkannya itu hanya sanggup mencerna kebenaran tunggal. Baginya sia-sia ceritaku. Barangkali karena iapun jenis mahluk yang telah bermutasi. Biarlah kuturuti apa yang ia mau. Hanya kepadamu cerita ini kuperdengarkan. Karena kamu yang mungkin mengerti posisiku.